Selasa, 06 Januari 2009

SELAMAT HARI IBU, TANTE!

Aku senang sekali! Pagi ini aku bisa berkumpul dengan Mama dan Papa. Tidak seperti hari-hari biasanya, dimana Mama dan Papa selalu sibuk dengan pekerjaannya.
“Dinda, hari ini kamu Mama antar ke sekolah ya?” Tanya Mama kepadaku.
“Hm, i.. iya, Ma. Tapi, kok Mama tumben sih nggak buru-buru berangkat ke kantor?”
“Hari ini Mama nggak kerja, sayang,” jawab Mama.
“Oh, gitu. Emangnya kenapa Ma kok bisa Mama nggak kerja? Mama ngambil cuti?” aku bertanya seperti sedang menginterogasi orang di kantor polisi, hehe. Ya, aku memang seperti ini. Aku selalu ingin tahu apa yang dilakukan orang. Bukan berarti aku ingin mencampuri urusan orang, tapi, aku adalah orang yang mawas diri dan selalau menanamkan rasa curiga kalau ada yang nggak biasanya orang kerjakan.
“Hm, nanti Mama ceritakan di jalan ya,” jawab Mama singkat.
Aku, Mama, dan Papa melanjutkan kembali sarapan kami. Sebenarnya, mulai hari ini aku sudah boleh nggak masuk sekolah, karena, aku sudah selesai ulangan umum dan masa-masa remedial pun sudah berakhir. Aku hanya tinggal menunggu hasil raporku. Tapi, aku ingin membicarakan tentang event yang akan diadakan oleh sekolahku. Oleh karena itu, aku masuk sekolah hari ini.
“Ma, ayo berangkat! Aku mau rapat sama Pak Ibnu,” ajak aku kepada Mama.
“Okay sayang. Come on!”
“Pa, aku berangkat sekolah dulu ya!” pamitku kepada Papa.
“Iya Dinda, hati-hati di jalan ya, Nak,” pesan Papa.
Aku dan Mama segera menuju mobil Honda Civic silver yang dibeli Mama sewaktu aku berulang tahun ke-17 kemarin. Walaupun mobil itu atas nama Mama, tapi, kata Mama aku boleh menggunakannya jika aku sudah memiliki SIM nanti. Aku senang sekali mempunyai Mama seperti Mamaku. Aku sangaaaat sayang Mama!
“By the way, tadi kamu bilang kamu mau rapat sama Pak Ibnu. Pak Ibnu itu siapa, Din?” Tanya Mama saat sedang mengendarai mobil.
“Aduh Mama! Mama gimana sih. Pak Ibnu itu wakil kepala sekolah aku, Ma. Sekolah aku kan mau bikin event gitu, nah aku jadi panitianya, ya mau nggak mau kan aku harus sering rapat sama Pak Ibnu dan siapa-siapa aja yang terlibat dalam event sekolah aku itu,” jelasku panjang lebar. Ya, aku mengerti Mama. Mama selalu sibuk dengan urusan kantornya, sampai-sampai wakil kepala sekolah aku pun Mama nggak tahu. Aku harus sabar dalam hal ini.
“Oh, gitu ya. Emang event apa sih yang mau diselenggarakan sama sekolah kamu itu?”
“Itu lho Ma, sekolah aku mau bikin BAKSOS gitu deh buat anak-anak panti asuhan di dekat sekolah aku,” jawabku. “Hm, Mama kalau mau nyumbang sesuatu untuk acara BAKSOS di sekolah juga boleh lho! Ya, hitung-hitung nambah pahala Ma untuk tabungan kita di akhirat kelak. Mama berminat?” tanyaku.
Mama melirikku dengan pandangan heran, “E.. He’eh.. Iya nanti Mama pikirkan lagi.”
“Ya ampun Mama, hal kayak gini aja masih mau dipikirin lagi?”
“Ya, iya. Mama kan juga nggak bisa sembarangan ngasih barang yang nantinya nggak berguna untuk anak-anak panti itu. Hal itu juga harus diperhatikan lho, Din,” jawab Mama.
“Oh iya ya. Mama benar! Ya sudah, tapi, Dinda harap Mama mau mengeluarkan sedikit rezeki Mama untuk anak-anak panti yang kurang beruntung itu,” ujarku.
“Pasti sayang! Kamu memang anak Mama yang saaangat rendah hati dan memikirkan nasib orang-orang yang kurang mampu,” puji Mama kepadaku.
***
“Din, sudah ditunggu Pak Ibnu di ruang OSIS,” kata Bayu adik kelasku.
“Oh, iya, Yu. Gw juga mau ke sana kok. Tapi, mau pipis dulu ya, hehe,” jawabku.
“Okay, Din. Kita tunggu di sana ya.” Aku mengacungkan jempol kepada Bayu.
Sekolahku memang nggak besar, tapi, nggak teralu kecil. Namun, cukup nyaman untuk dijadikan tempat belajar, apalagi kumpul sama teman-teman. Sekolahku adalah salah satu sekolah swasta favorit di daerah Jakarta Selatan. Mama sengaja mendaftarkanku di SMA swasta karena, Mama ingin yang terbaik untuk aku.
Aku menuju ruang OSIS di lantai 2 untuk memulai rapat mengenai BAKSOS yang akan diadakan oleh sekolahku. “Permisi, maaf saya terlambat,” ujarku kepada orang-orang yang sudah hadir dalam ruangan itu.
“Ya, silakan masuk, Din. Tidak apa-apa, kita santai sekarang, karena hari ini adalah hari bebas,” kata Pak Ibnu yang sangat pengertian kepada seluruh murid-muridnya.
Dua jam kemudian, tepatnya jam 11 siang, aku dan teman-temanku yang termasuk anggota panitia BAKSOS telah selesai rapat dengan Pak Ibnu. Sekarang adalah jam bebas. Murid-murid dibolehkan meninggalkan sekolah jika ada yang ingin pulang saat itu. Tapi, aku masih ingin di sekolah bersama dengan teman-temanku –lebih tepatnya aku ingin bersama Dito pacarku.
“Mon, ngeliat Dito nggak? Kok dari tadi gw nggak lihat ya?” tanyaku kepada Mona teman sekelasnya.
“Dito memang nggak masuk, Din. Mamanya sakit katanya,” jawab Mona.
“Hah?” aku kaget, “Kok dia nggak bilang-bilang gw ya, kalau Mamanya sakit?”
“Wah, gw nggak tahu deh kalau masalah itu, Din,” jawabnya. “Hm, gw duluan ya!”
“Okay! Thanks ya.”
Kok Dito nggak ngabarin aku ya kalau Mamanya sakit? Pantas aja belakangan ini SMS-ku jarang dibalas sama dia. Ternyata dia lagi sibuk ngurusin Mamanya.
***
“Ma, aku izin ke rumah teman ya?” izinku pada Mama.
“Ada acara apa?” Tanya Mama.
“Hm, Mamanya temanku lagi sakit, Ma. Aku mau jenguk. Boleh ya, Ma? Please..” pintaku.
“Mama antar ya. Ini kan sudah malam, Nak.”
“Ya, jangan, Ma. Aku bisa sendiri kok. Mama istirahat aja di rumah. Lagian kan besok Mama sudah kerja,” ujarku agar Mama nggak mengantarku ke rumah Dito.
Mama memang belum tahu kalau aku pacaran sama Dito. Aku belum ingin mengenalkan Dito pada Mama, karena, aku pikir hubunganku sama Dito baru sebentar dan waktunya belum tepat. Mungkin aku akan mengenalkannya pada Mama kalau hubunganku dengan Dito sudah agak lama.
“Benar kamu nggak mau Mama antar?” Tanya Mama meyakinkanku.
“Iya, Ma. Aku kan sudah besar. Aku bukan anak kecil lagi yang harus diantar sama Mamanya kalau ingin bepergian.”
“Okay, Mama percaya sama kamu. Hati-hati ya, Dinda!” pesan Mama.
Aku segera memesan taksi untuk mengunjungi Dito. Ya, seperti yang aku katakana tadi pagi. Walaupun Mama sudah memfasilitasi aku sebuah mobil, tapi, aku belum boleh menggunakan mobil itu sendiri tanpa ditemani Mama, Papa, ataupun supir. Sayangnya, Pak Tama supirku sudah pulang kalau malam-malam begini. Jadi, mau nggak mau ya aku harus menggunakan taksi dan mengeluarkan sedikit uangku.
***
“Permisi..” sapaku ketika sampai di rumah Dito.
“Ya, tunggu sebentar,” sahut orang yang ada di dalam. Rumah Dito memang nggak sebesar rumahku. Dia bukan anak dari kalangan orang atas. Dia dapat bersekolah di sekolahku saja karena beasiswa yang diraihnya sejak kelas satu. Hal itulah yang membuat aku tergila-gila dengan Dito, karena kepintarannya aku jadi ingin menjadi pacar Dito tanpa memandang status ekonomi yang dia punya. Dan karena hal inilah yang membuat aku menyembunyikan hubungan aku dan Dito pada Mama. Aku takut Mama nggak suka dengan Dito yang adalah bukan dari kalangan sederajat dengan kami.
Orang itu membuka pintu, “Dinda!” sapa Dito.
“Hai, Dit. Hm, kamu kok nggak ngasih tahu aku kalau Mama kamu lagi sakit?” tanyaku to the point.
“Maaf, Din. Aku nggak sempat ngasih kabar ke kamu,” jawab Dito.
“Dit, kamu kenapa? Muka kamu kok sedih banget?” tanyaku.
“Keadaan Mama makin parah, Din. Aku takut terjadi apa-apa sama Mama.”
“Udah, Dit. Jangan sedih dong. Kalau kamu sedih, aku juga ikut sedih. Kan kamu sendiri yang bilang, kamu nggak mau kan melihat aku nangis? Nah, kalau gitu, kamu jangan buat aku nangis, ya?” ujar Dinda, mencoba menenangkan Dito.
“Makasih ya sayang. Kamu care banget sama aku. Aku beruntung punya pacar kayak kamu. Kamu bisa terima aku apa adanya tanpa melihat keadaan ekonomi keluarga aku.”
“Ssstt.. kamu nggak boleh gitu ah! Aku melihat kamu sama sekali bukan dari materi, tapi, aku sayang sama kamu tulus dari dalam hati aku,” kataku. “Hm, ngomong-ngomong aku nggak dibolehin masuk nih?” lanjutku.
“Oh, iya-iya. Aku lupa, hehe. Maaf ya, Din. Ayo masuk, tapi, maaf keadaan rumahku nggak kayak rumah kamu,” ujar Dito mempersilakanku masuk.
“Dito, kamu mulai lagi kan! Aku nggak suka ah kamu banding-bandingin keadaan aku sama kamu. Kita semua itu sama, ga ada yang beda. Bedanya ya cuma, aku cewek dan kamu cowok.”
Aku masuk ke dalam rumah Dito. Walaupun rumah Dito nggak seperti rumahku, tapi, rumah ini cukup nyaman untuk ditinggali. Aku pun mau kalau aku harus tinggal di sini.
Aku celingukan di dalam rumahnya. Aku mencari dimana Mamanya Dito? Oh, mungkin beliau sedang istirahat di dalam kamar. Apakah Dito akan mempersilakan aku untuk masuk ke kamar Mamanya Dito?
“Dinda, kamu duduk dulu ya,” kata Dito membuyarkan semua khayalanku.
“Hah, oh, iya, Dit makasih.”
“Aku ke kamar Mama dulu, mau bilang kalau ada kamu,” pamit Dito. Ya, Mamanya Dito sudah mengetahui tentang hubunganku dengan anaknya. Mamanya sama sekali nggak keberatan Dito menjalin hubungan denganku. Memang, para tetangga di sekitar rumah Dito sempat menyebarkan gossip yang nggak sedap. Mereka menganggap, Dito berpacaran denganku hanya ingin memanfaatkan kekayaanku. Tapi, ya namanya juga ibu-ibu. Kerjaannya hanya gossip kalau sudah bertemu satu sama lain.
“Dit!” teriakku. “Hm, nggak usah dipanggil. Biarkan aja Mama istirahat. Kalau boleh, aku yang ke kamar Mama kamu aja, gimana?” tanyaku pada Dito.
“Kalau kamu mau masuk ke kamar Mama sih silakan, Din. Tapi, maaf..”
“Dito! Sekali lagi kamu bilang maaf karena masalah yang sama, aku nggak akan maafin kamu,” sela-ku kesal pada Dito.
“Okay, Din. Aku nggak akan membahas masalah itu lagi,” ujarnya sambil mengantarkanku ke kamar Mamanya.
***
“Ini pak. Kembalinya untuk Bapak aja,” kataku pada tukang taksi sewaktu pulang dari rumah Dito.
“Makasih neng.”
Saat ini sekitar jam Sembilan malam. Seperti biasa, pintu pagar rumahku belum dikunci. Aku masuk ke dalam rumah. Aku melihat dari luar, lampu-lampu di dalam rumah masih menyala. Aku berpikir Mama belum tidur karena menungguku.
“Mama..” sapaku pada Mama.
Mama menoleh ke arahku, “Kamu dari mana aja? Jam segini baru pulang,” tanya Mama yang terlihat sangat kesal.
“Kan tadi aku sudah pamit, Ma. Aku habis dari rumah temanku, Mamanya sakit,” jawabku.
“Kamu kayaknya care banget sama teman kamu itu? Sampai-sampai Mamanya sakit aja kamu jengukin,” kata Mama ketus.
Sepertinya, saat aku pamit Mama nggak kayak gini deh. Mama malah menawarkan ingin mengantarkan aku. Tapi, kenapa sewaktu aku pulang Mama jadi judes sama aku? Atau Mama tahu kalau aku ke rumah Dito?
“Dinda! Jawab Mama!” bentak Mama kepadaku. Aku kaget dan langsung menatap Mama.
“Mama kenapa sih? Tadi aku pamit sama Mama kayaknya Mama fine-fine aja. Tapi, kenapa sekarang Mama jadi kayak gini?” aku balik bertanya.
“Kamu nggak sopan ya sama Mama! Mama tanya sama kamu, malah kamu balik nanya sama Mama.”
“Nanti aku ceritakan kalau waktunya sudah tepat, Ma. Maaf aku belum bisa memberitahu soal ini sama Mama sekarang. Permisi, Dinda mau ke kamar dulu,” pamitku pada Mama dan meninggalkan Mama di ruang tamu.
Aku ngak sopan banget! Meninggalkan Mama tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan olehnya. Tapi, aku benar-benar belum bisa menceritakan tentang hubunganku dengan Dito. Karena, aku tahu dulu Mama pernah aku kenalkan dengan Dito, tapi, Mama sama sekali nggak suka sama dia. Ya, karena alasan keadaan ekonomi keluarga Dito yang nggak sebanding dengan keluargaku. Makanya, aku masih takut kalau Mama tahu aku berpacaran dengan Dito.
***
“Hari ini hari Ibu. Mama masih marah sama aku nggak ya?” kataku pada diri sendiri.
Ya, sekarang adalah tanggal 22 Desember, tepatnya adalah hari Ibu. Aku ingin memberikan sesuatu pada Mama. Sesuatu yang sangat berharga dalam kehidupan Mama. Tapi, aku takut kalau Mama masih marah sama aku.
“Din!” teriak Wina dari ujung koridor lantai 2 di sekolah.
“Apa sih, Win? Ngagetin gw aja.”
“Lo sudah ke rumah Dito?” tanya Wina.
“Sudah kok. Kenapa memangnya?”
“Hm, nyokap lo nggak tanya-tanya tuh?” tanya Wina dengan nada menyindir.
“Maksud lo apa sih, Win? Lo mau ngeledekin gw, karena ketidaksukaan nyokap gw ke Dito, hah?” kataku kesal.
“Bukan gitu maksud gw, Din. Gw kan cuma tanya, kalau lo ke rumah Dito memang nyokap lo nggak ngomel-ngomel? Terserah lo deh, sensian banget sih lo sekarang!” kata Wina dan langsung meninggakanku sendiri.
Aku jalan menuju ke ruang wakil kepala sekolah di lantai dasar. Ya, memang hari ini adalah hari Minggu. Tapi, aku harus ke sekolah, karena Pak Ibnu memintaku untuk membantunya menyusun kegiatan BAKSOS.
***
“Pak, Dinda sudah boleh pulang kan?” tanyaku pada Pak Ibnu saat jam setengah satu siang.
“Ya, kamu sudah boleh pulang. Tapi, muka kamu kelihatan nggak ceria seperti biasanya. Ada apa, Dinda?” tanya Pak Ibnu heran.
“Ehm, nggak ada apa-apa kok, Pak. Cuma masalah kecil aja. Ya sudah, Dinda pamit dulu ya, Pak,” kataku sambil menyalimi tangan Pak Ibnu.
“Ya, hati-hati di jalan, Din.”
Seperti biasa, aku dijemput Pak Tama yang sudah menunggu di parkiran sekolahku. Biasanya, setelah pulang sekolah aku nggak langsung pulang, tapi, mengantarkan Dito pulang ke rumahnya. Aku nggak merasa malu punya pacar yang keadaan ekonominya nggak sebanding denganku. Walaupun setiap hari aku harus mengantarnya pulang, setiap kita nonton atau makan di luar selalu aku yang membayar, tapi, aku nggak merasa risih.
“Pak, Mama kerja kan hari ini?” tanyaku pada Pak Tama.
“Iya, Non. Mamanya Non Dinda sudah berangkat ke kantor.”
“Fiuh, bagus deh kalau Mama sudah berangkat. Aku takut Mama masih ingin mempermasalahkan yang tadi malam,” bisikku dalam hati.
Sesampainya di rumah, aku kembali merasakan suasana sepi seperti biasanya. Mama dan Papa nggak di rumah sampai larut malam. Aku hanya dengan Mba Rani pembantuku di rumah.
“Mba, aku mau tidur. Kalau ada yang telepon nyari aku, bangunin aja ya,” pesanku pada Mba Rani.
“Siaaap, Non!” katanya sambil mengangkat tangannya dan hormat kepadaku. Mba Rani itu sudah seperti kakakku. Aku nggak pernah menganggapnya sebagai pembantu. Aku sangat nyambung jika bicara dengannya.
Aku naik menuju kamarku. Aku melihat HP-ku. Ternyata ada dua missedcall dari Dito. Kenapa Dito nelepon aku? Apa ada yang penting? Aku harus meneleponnya lagi.
Aduh! Kok nggak diangkat-angkat ya? Ditto kemana sih? Tadi kenapa dia nelepon aku? Ditooo, kamu jangan buat aku penasaran dong.
“Eh, halo!” sapaku pada Dito.
“Ya, Din,” jawabnya dengan nada lemas.
“Kamu kenapa, Dit? Suara kamu kok gitu?” tanyaku.
“Mama, Din. Mama koma dan sekarang ada di ruang ICU.”
“Ya ampun. Sampai sekarang masih belum sadar, Dit?”
“Belum, Din. Aku takut,” kata Dito sambil menangis.
“Dit, jangan nangis dong! Okay, aku ke sana sekarang. Tunggu aku ya, Dit.”
Dito menutup telepon dariku. Aku segera bergegas pergi ke rumah sakit tempat Mamanya Dito dirawat. Aku memanggil taksi. Aku nggak ingin meminta Pak Tama untuk mngantarkan aku ke rumah sakit. Aku takut Mama mengetahui masalah ini. Lebih baik aku ambil aman aja.
***
“Dokter, gimana keadaan Mama?” tanya Dito pada dokter yang merawat Mamanya.
“Mama kamu masih belum sadar, Dit. Kamu yang sabar ya, Mama kamu akan sadar, tapi, nggak dalam waktu singkat ini. Virus Kanker yang menyerang tubuh Mama kamu sudah menyebar. Sekarang, hanya Tuhan yang dapat menolongnya. Lebih baik kamu banyak berdoa aja. Keajaiban pasti akan datang jika kita pasrahkan ini semua kepada-Nya,” jelas dokter panjang lebar.
Dito lemas, tubuhnya tersentak ke kursi yang ada di ruang tunggu tumah sakit. Ia belum dapat menerima apa yang dikatakan oleh dokter tadi. Sepertinya, Dito sangat menyayangi Mamanya. Ia sampai tidak masuk sekolah karena Mamanya sedang sakit keras.
“Dit, Mama kamu sakit Kanker?” tanyaku penasaran. Dito mengangguk. Aku kaget. Sejujurnya, Dito nggak pernah menceritakan kepadaku mengenai penyakit yang di derita oleh Mamanya. Ya Tuhan, kenapa Dito harus dihadapkan dengan keadaan yang mungkin sangat mempersulit keadaannya.
“Maaf, Din. Aku nggak pernah cerita ke kamu sebelumnya. Aku nggak mau kamu mengkhawatirkan Mama-ku. Karena, aku tahu kamu sudah menganggap Mama-ku sebagai Mama kamu sendiri,” lanjut Dito.
“Kalau kamu tahu aku sudah menganggap Mama kamu sebagai Mama-ku sendiri, kenapa kamu tega nyembunyiin semuanya dari aku?” tanyaku.
“Maaf, aku nggak berpikir sampai sejauh ini, Din.”
“Okay, no problem. Sekarang, kita berdoa aja agar Mama bisa cepat sembuh,” kataku.
***
“Dinda!” bentak Mama ketika aku baru masuk rumah.
“Kenapa lagi, Ma? Mama mau marah lagi sama aku?” tanyaku malas.
“Kamu ingat pesan Mama dulu? Mama nggak suka kamu bergaul dengan Dito! Kamu sudah berani ya menentang perintah Mama!” kata Mama marah padaku.
“Mama ini ngomong apa sih? Dinda nggak ngerti, Ma!” Ya Tuhan, aku saaangat merasa berdosa. Aku sudah membentak Mama. Aku bukan anak yang baik.
“Kamu nggak usah pura-pura nggak tahu, Din. Mama sudah tahu semua! Kamu tadi habis dari rumah sakit kan menjenguk Mamanya Dito yang lagi sakit? Untuk apa kamu perhatian sama dia, hah?”
“Ma, memang salah ya kalau aku care sama teman aku? Kalau aku care sama keluarganya teman baik aku. Apa aku salah, Ma?”
“Ya, memang kamu nggak salah. Tapi..”
“Tapi, Mama nggak suka sama Dito, karena, Dito adalah orang miskin? Itu yang akan Mama katakan?” aku menyela perkataan Mama. “Mama itu kenapa sih nggak mau berubah? Please, Mama ubah sikap Mama yang selalu aja membanding-bandingkan orang kaya dan miskin. Dinda nggak suka Mama selalu bersikap seperti itu, Ma!” bentakku pada Mama. Aku sudah nggak tahan sama sikap Mama yang selalu menghina orang yang mempunyai keadaan ekonomi di bawah keluarga kami.
“Dinda! Mama nggak suka kamu menyela perkataan Mama!” Mama kembali membentakku. “Mama..”
HP-ku bergetar di kantong celana. Di layar HP-ku terlihat nama Dito. Aku mengangkat telepon dari Dito, walaupun Mama nggak jadi melanjutkan kata-katanya karena aku mengangkat telepon.
“Apa?.. Okay! Aku ke sana sekarang.” Aku menutup telepon dari Dito dan langsung menuju rumah sakit kembali. Dito mengabarkan bahwa keadaan Mamanya sedang tidak stabil di ruang ICU.
“Maaf, Ma. Aku harus ke rumah sakit,” kataku pada Mama. Aku mengambil tas dan segera menjegat taksi di depan rumahku.
Aku tahu Mama sangat kesal denganku. Mungkin Mama sudah nggak bisa memaafkan aku karena ulahku ini. Tapi, aku benar-benar nggak habis pikir. Mama bisa bersikap seperti itu sama temanku sendiri.
“Mau apa lagi kamu ke rumah sakit, Din? Hah! Kamu lebih memilih orang itu daripada Mama kamu sendiri yang telah mengandung, melahirkan, dan merawat kamu sampai sebesar ini?” kata Mama. Aku nggak memperdulikan omongan Mama. Aku sudah bosan dengan kata-kata itu yang dikeluarkan Mama kalau aku sedang membuat ulah. “Dinda! Dinda tunggu Mama! Dindaaaa!!!” teriak Mama. Sayangnya aku sudah mendapatkan taksi. Aku segera pergi ke rumah sakit untuk melihat keadaan Mamanya Dito.
***
“Dit, gimana Mama?” tanyaku pada Dito.
“Aku sudah nggak bisa berbuat apa-apa, Din. Kamu tahu kendalaku selama ini. Aku kesulitan untuk membayar biaya rumah sakit. Dan keadaan Mama sekarangpun sudah aku pasrahkan semua pada Tuhan,” kata Dito yang hampir meneteskan air mata. “Pihak rumah sakit sudah nggak mampu untuk merawat Mama. Aku sudah nggak tahu lagi harus berbuat apa. Mama harus segera keluar dari rumah sakit atau dipindahkan ke rumah sakit yang lebih kecil. Tapi, kemungkinan untuk sembuh di sana sangat kecil,” lanjutnya.
“Dit, aku akan bantu kamu. Aku lunaskan semua biaya di rumah sakit,” kata aku.
“Nggak! Aku nggak mau, Din. Maaf bukannya aku menolak rezeki. Tapi, aku merasa sangat malu. Aku malu sama diri aku sendiri. Mungkin aku nggak berharga di mata kamu. Aku nggak punya apa-apa dibanding kamu.”
“Dito! Sebenarnnya, aku capek kalau kamu terus-terusan membahas tentang ini. Aku..”
Perkataanku tersela oleh dokter. Dokter keluar dari ruang ICU dengan wajah yang murung dan kecewa.
“Dito,” panggil dokter.
“Ya, Dok. Ada apa?” tanya Dito.
“Maaf, kami nggak bisa menyelamatkan nyawa Mama kamu.”
Ya Tuhan, Mamanya Dito? Tubuh Dito tersentak. Ia terjatuh di lantai. Dito menangis. Ia sangat terkejut mendengar pernyataan dokter tadi. Ya Tuhan, tabahkanlah Dito.
“Dit, yang tabah ya. Aku tahu, kamu pasti bisa menghadapi semua ini. Mungkin, ini sudah takdir yang harus kamu jalani,” kataku mencoba menenangkan Dito.
Sesaat aku sedang menenangkan Dito. Tiba-tiba ada yang menarik pundakku dari belakang. Aku kaget karena tenaganya sangat kuat.
“Mama?” kataku kaget. Ternyata Mama menyusulku ke rumah sakit.
“Kamu memang benar-benar anak nggak berbakti sama orang tua! Kamu lebih memilih laki-laki itu daripada Mama!” bentak Mama sambil mengangkat tangannya ingin menamparku.
“Stop! Stop, Tante!” teriak Dito. Sejenak, Mama melihat Dito. “Dinda nggak salah. Dito yang salah! Dito selalu bergantung pada Dinda. Sekarang, Dito mohon sama Tante, please jangan Tante tampar Dinda. Dinda anak yang baik. Dinda selalu bantu Dito,” kata Dito memelas.
“Kamu nggak usah ikut campur ya! Kamu memang selalu menyusahkan anak saya! Kamu selalu nggak bisa hidup mandiri. Kamu selalu bergantung pada anak saya. Kamu racuni apa anak saya, hah? Sampai-sampai Dinda lebih membela kamu daripada Mamanya sendiri?” tanya Mama kepada Dito.
“Maaf, Tante. Saya memang orang nggak mampu. Tapi, saya masih punya harga diri. Saya nggak akan pernah melakukan hal-hal yang tidak pernah diajarkan oleh kedua orangtua saya,” jawab Dito dengan pandangan sinis kepada Mama.
***
Keadaan di rumah sakit sudah sedikit tenang. Ditto tetap berdiri di depan ruang ICU untuk menunggu Mamanya dikeluarkan dari dalam. Mama dan aku sedang duduk di ruang tunggu.
“Tuh! Mama liat siapa yang dikeluarkan dari ruang ICU dengan ditutup kain putih. Siapa. Ma? Siapa?” tanyaku sinis. “Itu Mamanya Dito, Ma. Sekarang Dito sudah nggak punya Mama. Mama tahu kenapa Mamanya Dito bisa nggak terselamatkan, hah? Selain ini adalah takdir Tuhan, ini semua karena Dito nggak sanggup untuk membiayai tagihan rumah sakit ini, Ma! Dokter menyarankan agar Mamanya dipindahkan ke rumah sakit yang lebih kecil agar biayanya terjangkau. Tapi, kemungkinan Mamanya untuk sadar itu sangat kecil. Dan selanjutnya, Dito sudah nggak tahu harus berbuat apa lagi. Yang saat itu Dito pikirkan hanya kesembuhan Mamanya,” ujarku kepada Mama.
Tanpa sadar aku dan Mama telah meneteskan air mata. Ternyata, perkataanku barusan telah membuat hati Mama tersentuh.
“Ma, aku mohon sama Mama. Aku mohon, ubahlah sikap angkuh Mama. Mama harus bersyukur, karena Mama memiliki rezki yang lebih dari cukup. Betapa banyaknya orang di luar sana yang masih sangat membutuhkan bantuan kita, contohnya Dito, Ma. Karena ketidakmampuannya membayar biaya rumah sakit, nyawa Mamanya sampai nggak terselamatkan. Mama harus renungi itu, Ma.” Aku memohon pada Mama.
Memang, aku sangat ingin melihat Mama bisa berubah. Aku ingin melihat Mama bisa menerima Dito apa adanya, tanpa melihat dari keadaan ekonomi keluarganya.
“Dinda..” panggil Mama.
“Ya, Ma,” jawabku.
“Makasih ya kamu sudah membuka hati Mama yang selama ini tertutup karena harta. Mama juga minta maaf, karena sudah melarang kamu berhubungan dengan Dito. Sekarang, Mama setujui hubungan kamu dengan Dito,” ujar Mama sambil memelukku.
“Makasih banyak, Ma. Aku sayang Mama,” ucapku. “Selamat hari Ibu ya, Ma. Aku akan selalu cintaaa sama Mama.”
***
“Dito..” panggil Mama pada Dito. “Maafkan Tante ya, Nak. Tante sudah banyak salah sama kamu. Tante mohon, kamu bisa memaafkan Tante. Dan Tante sudah menyetujui hubungan kamu dengan Dinda,” lanjut Mama.
“Nggak pa-pa, Tante. Aku nggak pernah marah sama Tante,” jawab Dito.
Aku terharu melihat keadaan di rumah sakit. Aku menangis. Air mataku nggak terbendung lagi. Melihat Mama dan Dito sudah rukun, aku merasa sudah mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya.
“Tante..” panggil Dito.
“Ya, Dit?” jawab Mama.
“Aku boleh memeluk Tante?” tanya Dito.
Mama terlihat bingung dengan pertanyaan Dito. Tapi, Mama langsung membuka tangannya lebar-lebar dan menunggu Dito memeluknya seperti Mama memelukku.
“Terima kasih, Tante,” ujar Dito sambil meneteskan air mata. “Selamat hari ibu. Aku belum sempat mengucapkan kata-kata itu pada Mama. Mama sudah di surga saat aku ingin mengucapkannya.”
“Terima kasih kembali, Dit. Anggap Tante adalah Mama kamu ya, walaupun Tante nggak bisa sepenuhnya menggantikan posisi Mama kamu,” ujar Mama kepada Dito.
***

Tidak ada komentar: