Selasa, 06 Januari 2009

KEBAHAGIAAN ELSA

“Kakak, nanti antarkan aku les, ya?” pintaku kepada Terry kakakku.
“Iya, tapi jangan sore-sore. Soalnya kakak juga mau ada acara,” jawabnya.
“Oke Kak!”
Aku kembali masuk ke kamar tidurku untuk mengerjakan PR yang diberikan oleh guru Matematika. Aku agak kesulitan dalam mengerjakan PR matematika di kelas dua ini.
Hmm…sepertinya, aku mengantuk. Yang ada di benakku saat ini adalah tempat tidur yang beralaskan kasur yang empuk dan aku terbaring di atasnya. Hhh…nikmat sekali. Tapi, aku belum selesai mengerjakan PR. Aku melanjutkan lagi pekerjaan rumahku. Aku nggak bisa menahan kantuk. Tiba-tiba aku…dan aku…hmm…

***

“Elsaaaaaaa!!!” panggil Kak Terry kepadaku. “Elsaaaaaa!!! Bangun! Katanya kamu mau les, jadi nggak?” tanyanya.
“Hah??!!” aku terbangun dari tidurku. Oh, ternyata aku tertidur di meja belajarku. “Sekarang jam berapa?”
“Sudah jam lima sore.”
“APA???!!!” aku langsung buru-buru masuk ke kamar mandi di kamarku.
Kira-kira hanya sepuluh menit aku di kamar mandi, aku langsung keluar dan memakai baju. Setelah rapi, aku turun ke bawah menuruni anak tangga dan menarik tangan Kakakku yang sedang asik melahap roti tawar.
“Kakak, ayo dong cepat! Nanti aku telat lagi,” ucapku sambil masuk ke dalam mobil.
“Iya iya, tapi jangan narik-narik tangan kakak gini dong. Sakit tau!”
Aku nggak sadar telah mencengkram pergelangan tangan Kak Terry dengan sekuat tenaga. “Oh, maaf ya, Kak. Aku nggak tahu.”
Kakakku menstater mobilnya dan aku langsung dibawa ngebut olehnya. Tubuhku tersentak-sentak kesana kemari, karena Kak Terry menyetir sangat ugal-ugalan.
“Kakak, STOOOOPPP!!!” aku langsung berteriak dan tubuhku langsung tersentak ke depan, karena Kak Terry ngerem mendadak.
“Kenapa sih, Dek?” tanya Kak Terry.
“Kakak jangan ngebut-ngebut dong! Nanti kalau nabrak, gimana?” tanyaku khawatir.
“Lho, kamu yang gimana. Tadi kakak disuruh cepat-cepat biar kamu nggak terlambat. Tapi, sudah kakak bawa cepat, kamu malah ngomel-ngomel. Gimana sih, kamu?”
“Ya, maksud aku, Kakak cepat-cepat ke mobil, bukan cepat-cepat jalannya! Boleh saja sih, kalau cepat jalannya, tapi jangan cepat-cepat banget kayak tadi. Nanti aku bilangin Ayah, lho,” ancamku.
“Ih, kamu mainnya gitu ya!” ujar Kak Terry sambil mengacak-acak rambutku.
“Ya sudah, sekarang cepetan jalan, Kak. Tapi, jangan ngebut kayak tadi,” pintaku.
“Oke bos!”

***

Aku mau minta izin dulu sama Ayah, kalau sekarang aku mau ke toko buku untuk mencari novel. Aku senang banget baca novel, karena cita-citaku sejak dulu adalah menjadi seorang penulis.
Aku sudah mendapat izin dari Ayah. Tapi, dengan syarat: aku harus pergi dengan Kak Terry. Ah! Kenapa sih, Ayah selalu ingin Kak Terry menjagaku? Kemana-mana harus dengan Kak Terry, sekolahpun harus diantar dengan Kak Terry. Apa sebenarnya alasan Ayah melakukan semua itu kepadaku?
Seperti kata Ayah, aku langsung menelepon Kak Terry dan bertanya: apakah dia mau mengantarkan aku ke toko buku? Dan sudah kuduga, jawabannya: TIDAK. Aku tahu mengapa Kak Terry nggak mau atau bisa dikatakan nggak bisa mengantarkan aku ke toko buku, karena Kak Terry juga punya kegiatan sendiri di luar selain menjaga dan mengantarku ke tempat-tempat yang ingin ku kunjungi.
Terpaksa untuk hari ini aku nggak bisa ke toko buku. Seperti pesan Ayah, kalau Kak Terry nggak bisa mengantarku, aku nggak boleh pergi sendirian.

***

Malam ini aku hanya berdua dengan Mbak Kinah di rumah. Ayah, Bunda, dan Kak Terry belum pulang dari tadi pagi. Setiap hari selalu begini. Setiap pulang sekolah, yang kulihat hanya Mbak Kinah. Ayah dan Bunda mana pernah pulang kerja di siang bolong? Kak Terry pun kadang-kadang hanya menjadikan rumah ini sebagai tempat makan. Sehabis makan, Kak Terry langsung pergi ke kampus lagi atau jalan-jalan dengan teman-temannya. Aku betul-betul kesepian di sini.
Aku mendengar ada yang memencet bel dari teras depan. Aku berlari dengan penuh semangat. Aku berharap Ayah pulang lebih awal. Aku membuka pintu dan…
“Yuda…” aku kaget melihat Yuda –mantan pacarku– datang ke rumah malam-malam begini.
“Hai, Sa. Apa kabar?” Tanya Yuda.
“Hmm…baik. Kamu sendiri gimana? Oh iya, ayo masuk dulu. Nggak enak ngobrol di depan pintu,” ajakku.
“Aku baik-baik aja. Anyway, kok sepi banget, lagi pada kemana?”
“Belum pulang semua. Tadi, aku kira Ayah yang pulang, ternyata kamu. Hmm…ada apa nih malam-malam ke sini? Tumben,” aku bertanya kepada Yuda.
“Aku mau ajak kamu jalan hari Minggu besok, kamu mau?” Tanya Yuda.
“Hmm…gimana ya? Aku juga nggak tahu nih. Kamu kan tahu sendiri Ayahku kayak gimana. Aku nggak boleh pergi-pergi kecuali diantar sama Kak Terry, Ayah atau Bunda,” jawabku.
“Gimana kalau aku yang minta izin sama Ayah kamu?”
“Kalau itu mau kamu sih, terserah aja. Tapi, kalau nggak boleh jangan maksa Ayah, ya?”
“Jangan panggil aku Yuda kalau aku nggak bisa ngebujuk Ayah kamu! Hehehe…” canda Yuda. “Jadi, Sabtu besok Ayah kamu ada di rumah, kan?” Tanyanya.
“Ada kok. Hehe, iya deh aku percaya, apa sih yang ga bisa dikerjain sama seorang Yuda!” ledekku.
“Ya sudah, Sabtu besok aku kesini lagi untuk ketemu sama Ayah kamu. Kalau gitu aku pamit dulu, kayaknya kamu capek banget. Kamu istirahat saja,” Pesan Yuda.
“Oh, iya. Makasih ya,” Aku mengantarkan Yuda sampai pintu depan.
Sebenarnya, aku masih sayang sama Yuda. Tapi, aku sudah terlanjur sakit hati. Yuda sudah khianatin aku waktu kami pacaran dulu. Dia jalan sama cewek lain dan cewek itu adalah sahabat aku sendiri. Disitulah aku memutuskan hubunganku dengan dia secara sepihak. Aku nggak percaya lagi dengan omongannya. Awalnya, dia menentang banget keputusanku. Dia nggak mau putus sama aku. Tapi, setelah aku bicarakan baik-baik, akhirnya dia bisa mengerti keputusanku.
Aku kembali ke awal kegiatanku: menunggu Ayah, Bunda atau Kak Terry pulang. Aku duduk di atas sofa panjang yang empuk di ruang TV sambil menonton reality show kesukaanku. Pandanganku nggak lepas dari jam dinding di ruang TV. Aku selalu melihat jam. Aku memperhatikan dari menit ke menit. Sudah dua puluh menit aku duduk diam di sini, tapi nggak ada seorangpun yang datang.

***

Ayam jantan di rumah tetangga sudah mulai berkokok untuk membangunkan warga di sekitar komplek perumahanku. Aku terbangun. Bukan karena ayam itu, tapi aku terbangun karena aku merasa nggak nyaman dengan tempat yang sedang aku tiduri. Aku membuka mata, lalu mengangkat tubuhku. Aku melihat ke sekeliling, ternyata dari semalam aku tertidur di ruang TV sewaktu menunggu orang-orang rumah pulang. Tapi, kenapa nggak ada yang membangunkan aku?
Aku berjalan ke kamarku untuk membereskan buku yang akan kubawa hari ini. Setelah aku ke kamarku, aku mampir ke kamar Kak Terry. Ternyata, Kak Terry sudah mandi dan sedang bersiap-siap untuk mengantarku lalu berangkat kuliah. Dari kamar Kak Terry, aku ingin ke kamar Ayah dan Bunda. Aku mengetuk pintu kamar mereka dan apa yang ku lihat? Bunda sudah nggak ada dan Ayah sedang siap-siap untuk pergi kerja.
Seperti hari-hari biasanya. Bunda berangkat pagi sekali. Bahkan setiap harinya aku jarang sekali bertemu atau bertegur sapa dengan Bunda. Karena, kalau Bunda berangkat ke kantor, aku belum bangun. Dan kalau Bunda pulang, aku sudah tidur.
“Elsa, kamu kenapa?” tanya Ayah.
“Oh, nggak, Yah. Nggak kenapa-kenapa kok. Hmm…Ayah belum berangkat?”
“Ini baru mau berangkat.” Jawab Ayah.
“Ayah nggak sarapan dulu?”
“Ayah sarapan di kantor saja. Karena, pagi ini Ayah ada meeting. Kamu mandi sana dan hati-hati ya kalau berangkat sekolah,” pesan Ayah.
“Iya, Ayah juga hati-hati ya,” ujarku sambil mencium tangan Ayah.

***

“Kak, kok tumben sudah pulang?” tanyaku kepada Kak Terry.
“Iya nih. Tadi nggak ada dosen, jadi Kakak pulang saja. Siapa tahu kamu mau minta Kakak antarkan kemana, gitu?”
“Aku lagi nggak mau kemana-mana, Kak. Aku lagi mau di rumah.” Jawabku.
“Katanya kemarin kamu nggak jadi ke toko buku? Sekarang, kamu mau ke sana nggak? Mumpung Kakak ada di rumah nih,” Ajak Kak Terry.
“Nggak ah, Kak. Lain kali saja.”
Aku mendengar ada yang masuk lewat pintu belakang.
“Bunda, kok lewat pintu belakang?” tanyaku yang mungkin mengagetkan Bunda.
“Oh, hmm, nggak kenapa-kenapa kok, Sa. Bunda tadi habis parkir mobil di garasi, jadi biar cepat lewat pintu belakang,” jawab Bunda.
“Emangnya Bunda nggak sama Pak Tomo? Biasanya kan Pak Tomo yang parkirin mobilnya.”
“Semalam Pak Tomo pulang ke kampung, katanya isterinya lagi sakit. Jadi, dia cuti dulu,” jelas Bunda.
“Oh, gitu. Tapi, Bunda kok sudah pulang jam segini?” tanyaku.
“Pekerjaan Bunda selesai lebih cepat. Jadi, Bunda langsung pulang. Bunda kan mau memperbanyak waktu sama kamu. Oh iya, Kak Terry sudah pulang?” Tanya Bunda.
“Sudah kok. Lagi di kamar. Ya sudah, aku mau ke kamar dulu ya, Bun.”

***

Aku mendengar ada keributan kecil dari dalam kamar Bunda. Aku penasaran. Aku membuka pintu kamarku dan melangkahkan kakiku menuju kamar Bunda. Aku mendengar Bunda lagi membentak Ayah. Dan aku terkejut ketika Bunda berkata pada Ayah: kita harus memberitahu Elsa secepatnya tentang dia yang sebenarnya!
Apa maksud Bunda berkata seperti itu? Apa selama ini ada sesuatu yang ditutup-tutupi dariku? Apa ada rahasia besar di rumah ini? Aku makin penasaran, dan aku mendengarkan kembali pembicaraan Ayah dan Bunda. Dari dalam kamar mereka…
“Tapi, nggak secepat itu!” Ayah gantian membentak Bunda.
“Nggak secepat itu gimana sih, Mas? Elsa sudah besar. Tunggu apa lagi? kalau terlalu lama ditutup-tutupi, bisa fatal akibatnya. Bisa-bisa Elsa marah sama kita, Mas,” jawab Bunda.
“Oke. Kamu mau kita bicarakan ini ke Elsa kapan?” Tanya Ayah.
“Besok, setelah sarapan pagi. Kita kumpul di ruang keluarga.”
Aku cepat-cepat masuk ke kamar tidurku. Sepertinya Ayah dan Bunda sedang menuju keluar kamar. Aku takut ketahuan kalau dari tadi aku mendengar pembicaraan mereka.

***

Aku masih penasaran dengan apa yang di bicarakan Ayah dan Bunda semalam. Apa sih yang mereka rahasiakan dari aku? Hmm…Kak Terry tahu nggak ya? Atau aku tanya saja sama Kak Terry? Tapi, kalau aku tanya Kak Terry percuma aja. Toh, kalau Kak Terry tahu tentang rahasia Ayah dan Bunda, Kak Terry juga nggak mau ngasih tau aku.
Aku turun ke meja makan untuk sarapan bersama. Selama ini aku dan keluargaku hanya dapat berkumpul pada hari Sabtu dan Minggu saja. Ya, seperti apa yang pernah ku bilang: Ayah dan Bunda sibuk banget, sedangkan Kak Terry kalau nggak sibuk sama kuliahnya, pasti sibuk sama teman-temannya.
Aku melihat wajah Ayah dan Bunda nggak bersemangat pagi ini. Aku melihat ada sesuatu yang disembunyikan dariku dan ingin dikeluarkan, kerena sudah nggak sanggup untuk menyimpannya.
“Pagi, Bunda! Pagi, Ayah!” sapaku kepada Ayah dan Bunda.
“Pagi, Elsa,” jawab mereka berdua hampir bersamaan.
“Kok Kakak nggak disapa sih, Sa?” ledek Kak Terry.
“Iya deh. Pagi, Kak Terry!”
“Pagi juga, Elsa adikku tersayang…” jawab Kak Terry.
“Elsa, ayo sarapan dulu,” ajak Bunda. Akupun langsung duduk disebelah Bunda. Bunda juga langsung mengambilkan nasi di atas piringku. Bunda itu adalah seorang Ibu yang perfect kalau nggak terlalu sibuk sama pekerjaannya. Bunda dapat menjadi Ibu rumah tangga yang baik dan telaten dalam mengurus anak-anaknya.

***

Selesai sarapan, Ayah, Bunda dan Kak Terry berkumpul di ruang keluarga untuk menyaksikan siaran TV kesukaan mereka.
Aku duduk di ruang tamu sambil membaca koran layaknya bapak-bapak. Sudah ku bilang, aku senang membaca dan aku senang membaca apapun termasuk koran. Rugi kan, kalau ada koran di dunia ini jika nggak disentuh sama sekali. Koran itu kan fungsinya untuk memberi informasi kepada pembacanya. Tanpa koran, kita akan kehilangan banyak informasi. Walaupun masih ada siaran berita di TV, tapi koran itu nggak kalah pentingnya kok dengan siaran berita di TV.
“Sa, dipanggil Bunda,” ujar Kak Terry.
“Mau ngapain, Kak?” tanyaku.
“Bunda sama Ayah mau ngomong.”
Aku langsung beranjak dari sofa empuk di ruang tamuku untuk menemui Ayah dan Bunda. Ketika aku sampai di ruang keluarga, aku melihat Bunda sangat gelisah. Entah sedang memikirkan hal apa. Tapi, aku yakin hal yang ingin disampaikan kepadaku itu adalah hal yang sangat penting.
“Ada apa, Bunda? Kata Kak Terry, Bunda manggil aku?” tanyaku kepada Bunda.
“Hmm…ada yang ingin Bunda omongin sama kamu, Sa.” Kata Bunda dan hampir mengeluarkan air mata.
“Iya, mau ngomong apa, Bun?” tanyaku.
Sambil memperlihatkan selembar foto di tangan Bunda. “Kamu tahu ini siapa?” Tanya Bunda.
Aku melihat foto itu dan…AKU??!! Dengan siapa aku dipangku di foto ini? Terlihat di sini, aku dipangku oleh sepasang suami-isteri, tapi mereka bukan Bunda dan Ayah. Aku melihat Bunda dengan mata penuh tanya.
“Anak kecil ini…aku, Bunda?” tanyaku.
“Iya, itu adalah kamu,” jawab Bunda.
“Lalu, kedua orang ini siapa?” aku menunjuk sepasang suami-isteri yang ada di foto tersebut.
“Itu adalah…”
Bunda menangis? Kenapa Bunda nangis? Apa aku sudah membuat Bunda sedih? Lalu, siapa sih sebenarnya kedua orang ini.
“Bunda, jawab, Bunda. Mereka siapa?” aku kembali bertanya.
“Mereka…mereka orang tua kamu,” jawab Bunda.
APA??!! Orang tuaku? Lalu, Bunda dan Ayah?
“Iya, mereka yang di foto itu adalah Ayah dan Ibu kamu, Elsa. Enam belas tahun yang lalu Ibu kamu adalah seorang pembantu di keluarga ini dan Ayahmu adalah supir Bunda. Sewaktu Ayah dan Ibumu ingin menjemput Bunda di bandara, rem mobil yang dibawa Ayahmu nggak berfungsi. Jadi, Ayah dan Ibu kandungmu sudah tiada sejak umur kamu masih lima bulan,” jelas Bunda. Aku sama sekali nggak percaya kalau Bunda dan Ayah…
“Pada akhirnya, sebelum Ibu kamu menutup mata untuk selamanya, Ibu kamu berpesan, bahwa Bunda diminta untuk mengasuh kamu. Jadi, setelah Ibu kamu tidak ada, sejak itulah Ayah dan Bunda merawat kamu dengan penuh kasih sayang, seperti anak kandung kami sendiri,” lanjut Bunda.
“Bunda sama Ayah kenapa harus menutup-nutupi hal ini dari aku? Kenapa Bunda nggak bilang dari dulu sama aku?” tanyaku sambil menangis.
“Maafkan kami, Sa,” ucap Ayah. “Kami nggak bermaksud untuk menutupinya dari kamu, tapi kami hanya menunggu waktu yang tepat,” lanjut Ayah.
“Oh, jadi menurut Ayah dan Bunda ini waktu yang tepat untuk dibicarakan sama Elsa? Ayah dan Bunda terlambat! Elsa sudah tau semuanya! Elsa mendengar percakapan kalian di kamar semalam.” Aku agak membentak Ayah dan Bunda. “Maaf kalau Elsa lancang, tapi, sudah seharusnya Elsa tau hal ini dari awal.”
Tiba-tiba Kak Terry menenangkanku dan mengajakku duduk. Aku masih saja menangis dan terus memandangi foto itu. Foto itu ternyata fotoku dan kedua orang tua kandungku yang selama ini nggak pernah aku kenal.
“Sa, nggak usah sedih lagi ya. Sekarang sudah ada Ayah dan Bunda yang sayang sama kamu. Mereka juga sudah anggap kamu sebagai anak kandung sendiri. Kakak juga sudah anggap kamu sebagai adik kandung Kakak sendiri,” ujar Kak Terry dengan mata berkaca-kaca.
“Sejak kecil Kakak pengin benget punya adik perempuan, tapi sayangnya Bunda sudah nggak bisa hamil lagi, rahimya sudah diangkat sehabis melahirkan Kakak. Jadi, waktu Ibu kamu meminta Bunda untuk mengasuh kamu, Bunda senang banget. Karena Bunda ingin membahagiakan aku dan impian Bunda bisa punya anak lagi bisa terwujud. Jadi Kakak harap, kamu bisa mengerti apa yang terjadi dengan Ibu dan Ayah kamu serta Ayah dan Bunda yang ingin mempunyai keturunan lagi,” jelas Kak Terry panjang lebar.
Air mataku terus mengalir ketika Kak Terry menceritakan kejadian yang sebenarnya kepadaku. Tapi, yang aku nggak mengerti, kenapa mereka nggak memberi tau hal ini dari awal?
Aku langsung beranjak ke kamarku dan meninggalkan mereka.

***
Setelah kejadian tadi pagi, aku sama sekali belum keluar dari kamar. Walaupun Kak Terry dan Bunda sudah membujukku untuk makan siang, tapi aku tetap mengunci diri di kamar.
Malam ini, entah mau sampai kapan aku berada di kamar, aku tetap nggak mau kemana-mana, termasuk makan di meja makan bersama mereka.
Sekarang aku sudah mengetahui peristiwa yang sebenarnya. Aku berpikir, aku ini hanya anak seorang pembantu dan jelas pembantu itu berbeda sekali derajatnya dengan majikan. Itu berarti aku berbeda dengan majikan Ibu dan Ayah kandungku yang selama ini aku panggil Ayah dan Bunda itu. Tapi, kenapa mereka terutama Kak Terrry dan Ayah sayang banget sama aku? Sampai-sampai aku nggak boleh bepergian sendiri tanpa ditemani Kak Terry, karena takut terjadi apa-apa denganku. Dan Kak Terry, setiap ada waktu luang, dia selalu memberikan waktunya untukku. Aku sama sekali nggak pernah menyesal telah dibesarkan oleh keluarga ini. Namun, aku merasa sangat beruntung bisa hidup di keluarga yang sayang denganku.
Tok…tok…tok…ada yang mengetuk pintu kamarku.
“Elsa,” panggil Kak Terry. “Ada teman kamu datang, kamu temuin ya,” ujar Kak Terry memberitahuku.
Siapa sih yang malam-malam begini datang nyari aku? Aku segera menemui temanku yang dikatakan Kak Terry .
“Hai,” sapaku. “Maaf ya lama,” sapaku kepada Yuda.
“Oh, nggak pa-pa. Hmm…aku boleh ketemu Ayah kamu, Sa?” Tanya Yuda.
“Boleh. Tunggu sebentar ya,” jawabku.
Aku baru ingin memanggil Ayah ke kamarnya, tapi Ayah sudah datang duluan ke ruang tamu.
“Eh, ada temannya Elsa, ya?” sapa Ayah.
“Eh iya, Om. Om apa kabar?” Tanya Yuda basa-basi sama Ayah. Yuda itu memang pintar banget kalau ngerayu orang, apalagi ngerayu Ayah. Waktu aku masih pacaran dulu kalau Yuda mau ngajak aku jalan pasti Yuda yang minta izin sama Ayah sampai akhirnya aku dibolehin pergi asal Yuda ‘mengembalikan’ aku ke rumah tepat waktu. Dan semenjak itulah Ayah jadi percaya sama Yuda, karena setiap aku jalan sama Yuda, Yuda pasti menepati janjinya sama Ayah untuk memulangkan aku tepat waktu.
“Elsa, kamu kenapa melamun aja?” Tanya Ayah.
“Oh, nggak, Yah. Nggak pa-pa. Oh iya, Elsa bikinin minum dulu ya.”
Aku beranjak pergi ke dapur untuk membuatkan minum untuk Ayah dan Yuda. Aku nggak tahu sama sekali apa yang mereka bicarakan di ruang tamu. Dan di dapur, aku bertemu Bunda. Lain dari biasanya, aku menghindari Bunda. Walaupun Bunda tetap mencoba mendekati aku.
Aku beranjak ke ruang tamu, menaruh gelas yang berisi minuman berwarna di depan Yuda dan Ayah.
“Sa, sini duduk sebentar,” ajak Ayah.
“Ada apa, Yah?” tanyaku.
“Besok kamu mau pergi sama Yuda?” Tanya Ayah.
“Hmm.. iya Yah. Tapi, kalau Ayah nggak ngebolehin ya nggak pa-pa,” jawabku dengan suara pelan.
“Ya sudah, kamu boleh pergi dengan Yuda.”
Aku tersenyum pada Ayah. Aku harap, itu adalah senyuman terbaikku yang pernah kuberikan pada Ayah.

***

“Elsa, bangun!” Kak Terry teriak tepat di telingaku. Aku terbangun sesaat dan kembali menarik selimutku yang dibuka oleh Kak Terry.
“ELSA BANGUUUUUUUUNNN!!!!!!” lanjut Kak Terry. Kali ini dia memang benar-benar sudah kelewatan! Ada apa sih, pagi-pagi ribut kayak gini!
“Kak Terry, aku masih NGANTUU…..K” aku terkejut saat aku melihat Kak Terry sedang membawa kue tart bertuliskan “HAPPY 17th BIRTHDAY ELSA”
“HAPPY BIRTHDAY, ELSAAAAAA!!!!” sekali lagi Kak Terry teriak tepat di depan wajahku.
“Kakak! Berisik tau!” bentakku. Aku nggak nyangka akan mendapat kejutan seperti ini. Aku kira setelah kejadian kemarin nggak ada sama sekali orang di rumah ini yang mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku. Ternyata aku salah. Semua orang di keluarga ini baiiiiiikk banget sama aku.
“Kamu senang, Sa?” Tanya Kak Terry.
“Iya, aku senang. Terima kasih ya, Kak”
“Ya, sudah sekarang bangun, make a wish terus tiup lilin. Cepetan!!”
Aku segera menuruti perintah Kakakku. Aku mengangkat kepalaku dan memejamkan mataku untuk meminta sesuatu yang aku inginkan kepada Tuhan di umurku yang sudah ke-17 tahun ini, lalu aku segera meniup lilin yang ada di atas kue tart ini.

***
“Ayaaahh..aku berangkat ya!” pamitku kepada Ayah untuk pergi bersama Yuda.
“Iya sayang, hati-hati di jalan ya.” Ayah menghampiriku disusul dengan Bunda di belakangnya. Aku menicium tangan Ayah dan Bunda seperti biasa dan aku langsung menuju ke mobil Yuda untuk mengunjungi tempat yang masih dirahasiakan Yuda kepadaku.
Aku senang, bisa dekat dan mulai jalan lagi sama Yuda. Jujur saja, aku masih sayang banget sama Yuda. Tapi, akibat ulahnya sendiri, aku jadi sakit hati dan nggak mau meneruskan hubunganku dengannya.
Sekitar satu jam lebih dua puluh menit aku dalam perjalanan ke tempat ‘misterius’ itu. Aku percaya dengan Yuda, dia nggak akan melakukan hal yang macam-macam denganku.
Di suatu tempat Yuda memberhentikan mobilnya dan dia menyuruhku untuk menutup mata. Katanya sih, aku mau dibawa ke tempat yang special banget dan nggak akan pernah akan aku lupakan seumur hidup aku. Aku jadi penasaran, seperti apa sih tempat itu?
“Kamu boleh buka mata kamu, Sa,” ucap Yuda ketika aku sudah sampai di tempat itu.
Aku membuka mataku perlahan-lahan. Aku sangat penasaran dengan tempat itu. Dan…
“Wow…”
“Gimana? Kamu suka?” Tanya Yuda kepadaku setelah aku membuka mataku.
Aku diajak ke tempat yang sangat indah, alam terbuka dipenuhi awan-awan putih dan langit biru yang saaangat luas.
“Suka banget! Kamu tahu darimana, kalau aku suka benget sama awan?”
Entah kenapa, dari kecil aku suka banget sama awan. Bentuknya, seolah aku ingin meraih awan itu. Tapi, sayang aku nggak bisa menggapainya dan aku benar-benar nggak bisa meraih awan, karena awan bukanlah benda padat melainkan awan adalah air hujan yang akan turun ketika sudah jenuh nantinya.
“Kamu lupa, ya? Dulu kan kita pernah pacaran dan setiap aku perhatiin kalau lagi di mobil, pasti kamu selalu melihat langit. Makanya aku tahu, pasti kamu suka dengan tempat ini, tempat yang khusus aku persiapkan untuk merayakan ulang tahun kamu bersamaku,” ujar Yuda sambil menatap mataku dengan tajam.
“Yuda, makasih banget ya. Kamu masih perhatian banget sama aku dan…”
“Karena, aku masih sayang sama kamu, Sa. Aku nggak mau kehilangan kamu,” sela Yuda. “Karena itu, aku ingin minta maaf sama kamu atas perlakuanku dulu ke kamu. Aku sudah banyak menyakiti kamu dan kamu masih bersabar menghadapi ulahku sampai akhirnya kamu sudah nggak mau lagi jalan sama aku. Rasanya, itu adalah kesalahan paling bodoh dan besar yang pernah aku lakukan selama hidup aku, Sa,” lanjut Yuda panjang lebar.
Aku sangat terharu mendengar kata-kata yang tadi diucapkan oleh Yuda.
“Nggak apa-apa. Aku juga sudah maafin kamu, kok. Jadi, kamu nggak usah merasa bersalah. Aku juga salah, aku terlalu membiarkan kamu bergaul dengan bebas, hingga kamu mengira aku sudah nggak sayang lagi sama kamu. Tapi, sebenarnya aku masih sayang banget sama kamu,” jawabku.
“Sampai sekarang, Sa?”
“Iya.”
“Kamu serius, sampai sekarang masih sayang sama aku?” Tanya Yuda untuk yang kedua kalinya.
“Sebenarnya iya,” jawabku.
“Kamu mau jadi pacarku lagi? Aku janji, aku nggak akan mengulangi kesalahan yang sama dan aku janji nggak akan nyakitin kamu lagi, karena kamu adalah orang yang paling berharga dalam hidup aku,” pinta Yuda.
“Kamu tau nggak? Apa yang aku minta sewaktu aku meniup lilin di tart cake yang Kak Terry bawa tadi pagi?” tanyaku. Yuda hanya menggelengkan kepalanya.
“Salah satu permintaanku adalah agar aku bisa sama-sama dengan kamu lagi seperti dulu. Aku tau sebenarnya kamu adalah orang yang baik dan nggak suka memainkan perasaan perempuan. Jadi, hari ini, di hari ulang tahunku, aku sudah mendapatkan satu permintaanku.” Jelasku panjang lebar.
“Jadi kamu mau memaafkan kesalahanku dan menerimaku jadi pacar kamu lagi?” Tanya Yuda memastikan.
“Iya.”
“Makasih banget, Sa,” ucapnya sambil mencium keningku. “Sekarang kamu mau kado apa dari aku?” lanjutnya.
“Aku hanya ingin satu dari kamu,” jawabku.
“Kamu tolong antarkan aku ke tempat dimana Ayah dan Ibu dimakamkan ya,” pintaku.
“Let’s go!”

***

Setelah sekian lama Bunda dan Ayah menyembunyikan semua identitas diriku. Akhirnya, aku dapat melihat makam Ayah dan Ibu kandungku, walaupun mereka sudah tenang berada di surga. Tapi, aku akan selalu mendoa’kan mereka.
“Elsa…”
“Bunda?” aku terkejut. Ternyata Bunda yang menyusulku bersama Ayah dan Kak Terry.
“Iya. Bunda ingin minta maaf sama kamu, Sa. Karena, Bunda telah menyembunyikan keadaan kamu yang sesungguhnya, tapi Bunda benar-benar nggak bermaksud meyakiti hati kamu,” ujar Bunda sambil menangis dan langsung memelukku.
“Bunda nggak salah, kok. Kemarin Elsa hanya shock saja, waktu Bunda menyampaikan hal itu ke Elsa. Elsa hanya terbawa emosi, Bunda. Jadi, Bunda nggak usah merasa bersalah lagi, ya?” ujarku menenangkan hati Bunda.
“Elsa, kamu memang anak yang baik. Sama seperti Ibu kamu.”
“Ibu sudah tenang di sana, Bun. Biarkan saja, Ibu melihat Elsa di sini bahagia bersama Bunda, Ayah, Kak Terry dan Yuda.”
“Sayaaang…Bunda bangga sekali sama kamu. Bunda beruntung dapat merawat anak yang berhati emas seperti kamu. Ibumu pasti akan lebih bangga, karena telah melahirkan anak seperti kamu,” ujar Bunda.
Aku memeluk Ayah dan Bunda dengan erat. Bunda dan Ayah yang telah membesarkanku sampai aku sudah berumur 17 tahun sekarang ini. Aku sangat berterimakasih dengan Ayah dan Bunda.
Jadi, aku telah mengetahui satu hal yang belum pernah kuketahui. Ternyata, perbedaan itu nggak selalu membawa kesedihan dan kesengsaraan. Bahkan perbedaan itulah yang membawaku pada kebahagiaan. Walaupun aku hanya anak seorang pembantu, aku merasa bersyukur telah dilahirkan di dunia ini. Aku mendapat banyak pelajaran bahwa derajat manusia di dunia ini adalah sama di mata-Nya. Hanya Tuhan yang memiliki derajat tinggi dari umat-Nya. Terlebih lagi, aku hidup bersama orang-orang yang menyayangiku sepenuh hati. Pada akhirnya aku telah menemukan kebahagiaan dan jati diriku yang sesungguhnya. Terima kasih Ibu, Bunda, Kak Terry dan kedua Ayahku serta Yuda yang telah memberikan warna dalam hidupku.

Tidak ada komentar: