Selasa, 06 Januari 2009

IT'S NOT ONLY MY DREAM!

“Uhuk..Uhuk!” aku kaget saat Mama bilang, kami akan kedatangan tamu dari Paris. Wow! Gumamku dalam hati. “Emangnya siapa yang habis pergi dari Paris, Ma?” tanyaku pada Mama saat aku, Mama, dan Papa sedang makan malam.
“Bude Resta sama anaknya,” jawab Mama.
“Hah? Emangnya kita punya saudara orang Paris, Ma?” tanyaku penasaran.
“Bude Resta itu bukan orang Paris. Suaminya yang orang Paris. Bude-mu itu mau liburan ke Jakarta sama anaknya,” jelas Mama. Aku menganggukkan kepalaku. “Oh, ya! Anaknya Bude Resta juga katanya udah nggak sabar pengin ketemu kamu,” lanjutnya.
“Siapa anaknya, Ma?”
“Itu lho, Mas Ivan. Masa’ kamu lupa sih?”
“Mas Ivan? Kok kayaknya Desta nggak pernah tau kalau aku punya sepupu namanya Ivan ya, Ma?”
“Husshh! Kamu ini. Untung kamu nggak ngomong di depannya. Kamu sering main kok dulu waktu masih kecil sama Ivan. Emang sih, waktu kamu umur enam tahun, Ivan itu udah diboyong orangtuanya ke Paris. Jadi, wajar aja kalau kamu lupa.”
“Oh.. Gitu..” kataku pelan dan melanjutkan kembali makan malamku lalu beranjak ke kamar untuk tidur.
***
Sepulangnya aku dari sekolah, aku menaruh motorku di depan rumah. Aku melihat di dalam garasiku ada mobil. Mobil siapa? Mobil Papa kan bukan kayak gitu. Lagipula, mobilnya Papa lagi di bengkel. Baru kemarin masuk bengkel, masa’ sekarang udah selesai? Gumamku dalam hati.
“Siang, Ma!” sapaku pada Mama saat aku masuk rumah.
“Eh.. Ini Desta, ya?” tanya perempuan yang mungkin sudah berumur kira-kira 48 tahun itu. Aku mengangguk. “Ya ampun.. Udah besar ya, cantik banget kamu, Nak. Kamu baru pulang sekolah?” tanyanya lagi. Lho, kan Mama yang aku sapa. Kenapa orang itu yang jadi cerewet nanya-nanyain aku? Batinku.
“Eh.. E.. Iya, Tante.”
“Husshh.. Desta!” sela Mama. “Itu Bude kamu. Bude Resta yang semalam Mama bilang dari Paris itu,” jelas Mama padaku.
“Oh.. Ya ampun, maaf ya, Bude. Aku nggak tau. Habis Bude beda banget sama yang dulu. Jadi, aku nggak ingat.” Aku cepat-cepat memberi alasan agar aku nggak malu di depannya. Pffiiuuhh.. Boro-boro lupa. Tau punya Bude namanya Resta aja nggak.
“Nggak apa-apa kok, Des. Wajar kalau kamu lupa sama Bude.”
***
“Jadi kamu yang namanya Mas Ivan?” tanyaku pada sepupu lelakiku yang kata Mama ada darah campuran Paris-Indonesia itu. Aduh, hebat juga gue! Punya sepupu bule, hehe. Nggak pa-pa deh, siapa tau gue bisa diajak Dia ke Paris (negara impian gue tuh!)
“Yes, I am.” Dia menjawab tanpa melihatku. Kepalanya mendangak ke atas langit.
“Can you speak Indonesian?” tanyaku. Dia hanya mengangguk. Ih! Cuek banget sih cowok ini. Ditanya bukannya jawab malah ngangguk-ngangguk aja, huh! Gumamku dalam hati.
“Kamu kok diam aja sih?” tanyaku kesal.
“Aku sedang melihat bintang.” Akhirnya Dia melihatku.
Wah, parah aja nih si Mas Ivan. Bintang cuma satu biji gitu dilihatin? “Kamu suka sama benda-benda yang ada di langit ya?” tanyaku.
“Yes, I do.” Lagi-lagi Dia hanya menjawab “Yes”. Aduh, kenapa sih aku yang harus disuruh mama untuk menemani orang aneh ini? “Hm.. Kamu pernah ke Paris?” tanya Mas Ivan.
“Belum, Mas,” jawabku. “Aku sih pengin banget. Tapi, Mama sama Papa nggak pernah ada waktu buat nemenin aku liburan.”
“Oh, yeah I know that. Your parents always busy with their work, because they are business people, aren’t they?”
“Iya, Mas.” Aku menoleh ke arah Mas Ivan. “Eh, Mas..” panggilku. Mas Ivan melirik. “Katanya kamu bisa bahasa Indonesia. Kok ngomongnya bahasa Inggris terus sih?”
“Hehehe.. Nggak apa-apa kok, Des. That’s my habit. And that’s my daily language in Paris,” jawabnya.
“Emang Mas nggak pakai bahasa Perancis?”
“Aku nggak terlalu lancar berbahasa Perancis, Des.” Mas Ivan kelihatan malu.
***
Aduh! Pagi-pagi begini siapa sih yang nyalain musik keras-keras? Ganggu orang tidur aja, huh! Gumamku dalam hati. Aku segera bangkit dari tempat tidur. Aku keluar kamar untuk mencari darimana asal suara keras itu. Aku sangat merasa terganggu, ugh!
“Mas Ivaaaaaaaannnnn!!!” aku teriak di depan kamarnya. “Maaaaasss…” pintunya aku ketuk sekeras mungkin agar Ia keluar dan segera mematikan musik kerasnya yang sangat mengganggu itu. Pintu itu terbuka. “Mas! Matiin tuh musiknya!” aku membentak Mas Ivan yang wajahnya masih lusuh dan rambutnya yang masih acak-acakan.
“Kenapa sih, Des? Kamu nggak suka sama selera musikku?” tanya Mas Ivan.
“Ya ampun, Mas. Kok masih tanya sih? Of course I don’t like your genre music. Makanya aku suruh Mas buat matiin lagunya,” kataku kesal.
“Hm.. OK! I’ll turn the CD player off,” ujar Mas Ivan dan langsung mematikan CD playernya itu.
“Thanks.”
***
Aku, Mama, Papa, Bude Resta, dan Mas Ivan sedang berkumpul di meja makan. Kami sarapan bersama. Mama dan Bude Resta membicarakan mengenai rencana shopping mereka di Senayan City dan Pacific Place nanti siang. Papa seperti biasa, menyindir Mama agar nggak menggunakan uang belanja berlebihan. Setelah itu, Papa langsung berangkat ke kantor. Aku dan Mas Ivan hanya terdiam mendengarkan Mama dan Bude ngomongin rencana shopping mereka.
“Hm.. Mas Ivan, nanti mau temenin aku ke ultah teman nggak?” tanyaku. Aku sengaja mengajak Mas Ivan ke acara ultah Nadia nanti malam. Aku ingin memamerkan kepada teman-temanku bahwa aku mempunyai sepupu dari Paris, hehe. Kelihatannya sih emang norak. Tapi, Mas Ivan itu cukup ganteng kok dibanding dengan cowok-cowok Indonesia. Jadi, aku akan merasa bangga kalau Mas Ivan mau menemani aku nanti malam.
“Kapan, Des?”
“Hm, jam tujuh lah Mas kita berangkat. OK gak, Mas?” tanyaku memastikan.
“OK! I’ll be with you tonight,” kata Mas Ivan setuju.
“Janji ya, Mas?”
“I promise! You can trust me.” Wah, nggak nyangka ternyata Mas Ivan baik banget. Di balik sikapnya yang dingin, ternyata ada keramahan juga dalam dirinya. Hm.. Benar-benar nggak nyesel deh jadi sepupunya Mas Ivan.
“Kayaknya ada yang punya acara sendiri nih,” sindir Bude kepada aku dan Mas Ivan.
“Nggak sendiri kok Bude. Kan sama Mas Ivan, hehehe.”
“Ya, ya, sepertinya kalian berdua udah mulai akrab, ya. Baguslah kalau begitu,” kata Mama menambahkan.
***
Aku sudah siap untuk pergi ke ultah Nadia. Aku menunggu Mas Ivan di ruang tamu. Aduh, sudah jam tujuh nih. Mas Ivan kok belum turun-turun sih. Lama banget dandannya. Aku aja yang cewek udah selesai duluan, kok malah Mas Ivan yang lama. Aku membatin.
“Are you ready to the party?” tanya Mas Ivan yang turun dari kamarnya mengenakan kemeja putih dilapisi dengan jas hitam pekat dan memakai celana serta sepatu yang match banget sama atasannya.
“Yes, I am.” Aku segera keluar menuju mobil Mas Ivan dan berangkat ke ultah Nadia di hotel Grand Indonesia. Wow! Great! Aku salut sama Nadia. Dia bisa ngerayain ultahnya di hotel itu. Makanya tadi siang aku bilang ke Mas Ivan bahwa Dia harus berpakaian yang rapi. Ya, seenggaknya cocok lah dengan night gown-ku.
“Mas Ivan, emangnya waktu kita kecil, kita deket banget, ya?” tanyaku di dalam mobil.
“Ya, kita sangat dekat. Tapi, sayangnya waktu aku berumur sembilan tahun, aku dan Mama dibawa Papa ke Paris untuk tinggal di sana. Saat itu kamu masih berumur enam tahun,” jelas Mas Ivan.
“Ya, aku tau itu. Hm, jadi Mas Ivan baru umur 20 tahun dong sekarang?”
“Yes, I’m 20 years old. Why?”
“Eh.. E.. No problem. I just want to know you more. Soalnya, aku lupa Mas, kalau kita dulu deket banget.”
“Kebiasaan kamu kan emang sering lupa, Des,” kata Mas Ivan sambil mengacak-acak rambutku. Ya, rambutku aku biarkan terurai. “Ah, Mas Ivan! Nanti rambutku berantakan.” Keluhku padanya.
“Kamu masih tetap cantik kok.” Mas Ivan memujiku. Aku tersipu malu.
***
“Mas, Paris itu indah banget, ya?” tanyaku saat masih berada di mobil dalam kemacetan.
“Yes, Paris is the beautiful city,” jawabnya. Mas Ivan melihatku. “Why? You look so sad, Des?”
“Nggak tau kenapa ya Mas, aku jatuh cinta banget sama kota Paris. Baru lihat tayangannya di TV aja aku udah segini cinta matinya sama Paris. Apalagi aku ke sana langsung ya, Mas? Aduh, nggak bisa ngebayangin deh aku,” ujarku dengan penuh harapan.
“I have one more ticket to Paris. Do you want?” aku tersentak kaget. WHAT?? Mas Ivan punya tiket lebih untuk ke Paris? Dan Dia nawarin aku?
“Are you sure?” tanyaku nggak percaya.
“Yes, I am. Tadinya, tiket ini untuk teman Mas. Tapi, tiba-tiba Dia membatalkan keberangkatannya. Jadi, daripada nggak digunakan, lebih baik untuk kamu,” jawabnya dengan diiringi senyuman manis dari bibirnya. “Jadi gimana? Kamu mau? Nanti berangkatnya sama aku. Sekalian aku pulang ke Paris,” lanjutnya memastikanku.
Aku mengangguk pasti. Aku sangat senang mempunyai sepupu seperti Mas Ivan. Selain ganteng, Dia baiiikk banget. Ih, Mas Ivan tau aja sih apa yang aku mau. Batinku.
Aku membuka kaca dan mengeluarkan sebagian kepalaku di tengah-tengah kemacetan kota Jakarta. “IT’S NOT ONLY MY DREAM! FINALLY, I AM GOING TO PARIIIIIISSSSS!! YEAH!” teriakku.

Tidak ada komentar: