Selasa, 06 Januari 2009

LUKISAN UNTUK KAKAK

Suasana bising terdengar jelas di telingaku. Aku sedang berada disebuah Mall di kawasan Jakarta Selatan. Aku habis mengantar kue ke salah satu restaurant di food court dalam Mall itu.
“Kak Lisa..” lirih Tisca, adik kecilku yang masih berumur 7 tahun. Aku melirik adikku yang sedang aku gandeng di sebelah kananku. “Ya, Dik?” tanyaku.
“Aku ingin bisa melukis seperti Kakak itu,” pintanya. Bola matanya bergerak mengikuti arah perempuan kecil yang kira-kira berumur 10 tahun yang sedang membawa lukisan didampingi oleh Ibunya.
Aku mengikuti gerak mata adikku. “Hm..” gumamku. “Nanti ya, Dik, kalau Kakak sudah mempunyai uang yang cukup,” ujarku. Aku memang bukan berasal dari keluarga mampu. Ayahku hanya seorang tukang kue. Ibuku hanya seorang tukang cuci dan gajinya pun tidak tetap. Saat aku berumur 14 tahun, Ibu dan Ayah meninggalkanku dan adikku yang baru berumur 3 tahun. Mereka mengatakan, bahwa mereka ingin mencari pekerjaan yang dapat menghasilkan gaji yang cukup untuk keluarga. Tapi, sejak saat itu sampai sekarang aku pun tidak pernah bertemu dengan orangtuaku lagi.
Saat Ibu dan Ayah pergi, aku memutuskan untuk berhenti sekolah, karena saat itu aku berpikir bahwa Adikku yang paling penting. Aku berusaha keras menjalani hidup yang keras pula di Jakarta ini. Aku harus merawat dan membesarkan Adikku dengan berharap-harap cemas Ibu dan Ayah akan kembali dengan pekerjaan yang mereka janjikan dan berkumpul bersama aku dan Tisca lagi.
“Kak..” ucap Tisca seketika membuyarkan lamunanku. “Aku lapar.” Tisca memegangi perut dengan tangan mungilnya. Aku melihat sekitar, apakah ada makanan di food court ini yang harganya pantas dengan isi dompetku?
“Kita cari makan di luar aja ya, Dik?” tanyaku sembari menggandengnya. Tisca mengangguk dan terus mengikuti langkahku.
Aku hanya seorang pedagang kue keliling saat hari Sabtu dan Minggu. Jika hari biasa, aku berjualan di rumah. Mungkin bakat Ayah menurun padaku. Aku sangat beruntung. Karena bakat inilah aku dan Adikku dapat bertahan hidup sampai saat ini. Walaupun, kadang-kadang kami sulit untuk mencari makan. Ya, karena penghasilanku nggak seberapa. Aku cukup beruntung ada satu restaurant kecil di food court Mall tadi yang bersedia bekerja sama denganku. Pihak restaurant memintaku untuk membuat kue sus dan donut pada pagi hari. Dan setelah itu aku harus mengantarkannya dengan segera sebelum jam 9.30. Tentu saja adonannya sudah kubuat pada malam hari dan pagi harinya aku tinggal memanggangnya.
Jika ada yang heran mengapa aku bisa memanggang kue itu, padahal untuk makan saja uangku nggak cukup, apalagi untuk membeli oven? Ya, aku numpang di rumah tetanggaku. Untungnya, aku sudah kenal baik dengan tetangga-tetangga di sekitar kampungku. Jadi, aku mudah untuk meminta bantuan seperti itu. Dan tentu saja aku memberi imbalan pada Bu Rista –orang yang meminjamkan ovennya padaku– dari hasil jualanku. Walaupun Ia menolak aku berikan imbalan, tetapi, aku tetap memaksanya untuk menerima uangku (walaupun nggak seberapa sih).
***
Tisca meringis kesakitan. “Kakak..”
“Ya, Dik?”
“Aku benar-benar lapar.”
Aku kasihan melihat Adikku menahan rasa laparnya. “Tunggu sebentar ya, Dik. Kita akan sampai di warung Bu Dena sebentaaar lagi,” ujarku menyenangkan Tisca di angkot. Warung Bu Dena adalah warteg tempat biasa kami makan kalau aku sedang tidak memasak di rumah. “Kamu bisa kan menahan laparmu sebentar aja?” lanjutku. Tisca hanya mengangguk dalam pasrah.
Maafkan kakak, Dik. Kakak nggak bisa menjadi kakak yang baik untuk kamu. Gumamku dalam hati.

“Kak, aku mau makan ayam goreng itu, ya?” pinta Tisca padaku.
“Hm..” aku gelisah. Ya, karena aku memikirkan berapa makanan yang harus kubayar nanti jika Tisca meminta ayam goreng? “Ya, kamu boleh pesan itu,” lanjutku. Aku nggak tega melihat Tisca yang sudah kelaparan dan ingin sekali makan ayam goreng itu.
“Kakak kok nggak makan?” tanya Tisca padaku.
“Hm, I.. Iya, Dik. Nanti aja. Kakak belum lapar.” Fiiuhh, aku sebenarnya lapar sekali. Apa lagi saat melihat Tisca makan dengan lahapnya di sebelahku. Tapi, karena aku khawatir uang ini nggak cukup untuk modal berjualan besok, aku rela sampai nggak makan. Toh, aku bisa beli roti di warung yang harganya hanya seribu atau seribu lima ratus rupiah saja. Hal itu nggak menghabiskan banyak uang kan?
***
“Kakak..” panggil Tisca saat kududukkan Ia di salah satu bangku di area food court. Aku sedang asyik bertransaksi kue dengan pemilik restaurant. “Kak..” panggilnya lagi. Aku menoleh ke tempat duduknya. “Aku ingin bisa melukis, Kak.” Lagi-lagi Ia minta agar dimasukkan ke dalam sanggar lukis yang ada di Mall itu. Aku tahu, mata Tisca tertuju pada satu tempat yaitu sanggar lukis yang berada tidak jauh dari restaurant ini.
Aku berusaha mendekati Adik kecilku. “Tisca..” ujarku pelan. “Kakak tahu kamu ingin sekali belajar melukis. Tapi, nggak semudah itu. Kakak belum mempunyai banyak uang untuk memasukkan kamu ke sanggar lukis itu. Biaya kursusnya sangat mahal, Dik.”
“Tapi, Kak..”
“Kakak janji akan memasukkan kamu ke sanggar lukis kalau kakak sudah punya cukup uang,” potongku saat Tisca ingin berbicara.
“Benar?” tanya Tisca meyakinkanku. Aku mengangguk pasti.
“Adik mau belajar melukis di sanggar itu, ya?” tanya seorang pria bertubuh sedang, berkulit putih, dan rambutnya sedikit botak yang berada di belakang Tisca. Tisca mengangguk dengan wajahnya yang sangat berharap pria itu akan memasukkannya ke sanggar lukis.
“Hm, kalau kakak kursuskan kamu di sana, kamu mau?” tubuhku kaku. Aku heran, sebenarnya siapa sih pria ini? Kok datang-datang langsung menawarkan Adikku untuk les lukis di tempat itu? “Ng.. Nggak usah, Mas!” ujarku spontan.
Ia melihatku dengan tatapan heran, “Kenapa?” tanyanya.
“Hm, saya nggak mampu untuk membiayainya. Untuk makan saja susah.” Aku memelas. Ya Tuhan, kenapa begini? Aku nggak tahu seperti apa ekspresi wajahku saat aku mengatakan hal itu.
“Nggak apa-apa. Aku akan beri gratis biaya kursus untuk Adikmu,” kata pria itu tegas.
“Yang benar, Kak?” tanya Tisca nggak percaya.
Pria itu mengangguk pasti dan langsung menggandeng Tisca ke dalam sanggar lukis itu. Aku masih shock. Aku nggak nyangka masih ada orang sebaik pria itu di sini. Membantuku –terutama Adikku– meringankan beban biaya kursus. Bahkan memberikan gratisan padaku. Apakah pria itu mengaharapkan imbalan? Atau pria itu ada maksud jahat padaku? Atau dengan Adikku? Atau.. aku merasa pusing. Hanya bayangan semu yang ada di sekelilingku.
***
Aku mendengar ada suara orang-orang sedang membicarakan tentang penyakit ginjal. Apa? Aku? Aku menderita gagal ginjal? Oh, nggak! Aku nggak mungkin. Aku..
Aku membuka mata. “Dimana aku?” tanyaku pada seseorang yang memakai jas putih di samping kananku.
“Kamu sudah seminggu di rumah sakit, tepatnya di ruang ICU,” jawab orang itu yang ternyata dokter di rumah sakit ini.
“Apa? Aku di rumah sakit?” tanyaku kaget. Dokter itu mengangguk. “Kenapa? Kenapa aku ada di rumah sakit?” tanyaku lagi sambil meringis kesakitan karena, hm, mungkin ada luka di perutku. Aku mencoba bangkit dari tempat tidur, tapi, rasanya sulit. Aku tidak dapat menahan rasa sakit ini.
“Kamu jangan banyak gerak dulu. Kondisi kamu sangat lemah, karena, kamu baru saja dioperasi. Dan kamu banyak sekali mengeluarkan darah. Lebih baik kamu istirahat,” kata dokter itu sambil membaringkanku lagi ke tempat tidur.
Apa? Aku operasi? Memang aku sakit apa? Dan akan dapat uang darimana untuk membayar itu semua jika aku sudah sembuh nanti? Biaya operasi kan sangat mahal. “Aku kenapa? Sakit apa aku?” tanyaku pada dokter.
“Kamu mengalami gagal ginjal. Kami sudah mengambil satu ginjalmu,” jawab dokter itu.
Aku tersentak kaget. Aku.. aku nggak kuat lagi. “Kakaaaakk..” aku mengenali suara itu. Tisca. Tapi, aku nggak kuat untuk membuka mata. “Kakak.. aku.. aku membawa lukisan untuk Kakak,” ucap Tisca saat Lisa sudah memejamkan mata dan menghembuskan nafasnya untuk yang terakhir kalinya.
“Innalillahi wainalillahi raji’un,” ujar Dokter. Kepala Tisca mendangak ke atas, memperlihatkan ekspresi yang bingung, sedih, dan bercampur-campur di sana. “Dik, Kakakmu.. hm, Kakakmu sudah pergi ke surga.”
Tisca meletakkan lukisan itu di atas tubuh Lisa sembari dokter menutup wajahnya dengan selimut berwarna putih. Tisca menangis. “Tisca sayang Kakak Lisa. Ini lukisan pertama Tisca yang kubuat untuk Kakak,” ujarnya.
***

Tidak ada komentar: